Jumat, 27 Juni 2014

Elegi Penghuni Teras Negeri

Ini hanya sepotong cerita ketika saya masih peserta SM3T angkatan ke II di Kab. Kepl. Talaud, Sulawesi Utara
                               
         Pagi itu, usai melakukan kegiatan wajib di barak DODIKJUR, kami dikumpulkan di lapangan hitam. Pohon-pohon perdu di sisi lapangan tak cukup tangguh menghalau matahari. Sinarnya menyentuh kulit kami yang panas dingin tak karuan seperti terkena malaria akut. Hari ini merupakan hari pengumuman tempat mengabdi. Satu per satu peserta di panggil dan dikumpulkan bersama rekan-rekan satu tempat pengabdian. Manggarai, Nunukan dan Malinau sudah dipanggil.
“Kabupaten Kepulauan Talaud” kata Pak Eddy kencang, koordinator SM3T UM, melalui speaker. Di tangannya ada kertas yang menentukan nasib kami setahun kedepan.
         Saya menanti, harap-harap cemas. Separuh nama peserta yang ditempatkan di kabupaten kepulauan Talaud sudah dipanggil. Saya semakin cemas. Cemas karena nama saya tak kunjung di sebut, cemas karena membanyangkan situasi tempat mengabdi, cemas karena harus merantau lagi setelah 4 tahun kuliah di tanah jawa dan cemas juga karena saya merasa cemas akan semuanya. Untung saja nama saya segera disebut sebelum jantung saya berhasil menerobos rusuk dan meloncat keluar.
          Okay, Talaud. How bad that you could be? Maka segeralah saya mencari informasi tentang kabupaten kepulauan Talaud. Sayang, tak banyak yang bisa saya dapat selain gambar peta yang menunjukan bahwasanya kabupaten ini berbatasan langsung dengan daerah Davao del Sur (pulau Mindanau) Philipina dan foto-foto saat gempa menghantam kabupaten ini 4 tahun yang lalu.

                                                                          ***
          Tanggal 12 oktober 2012, kami 30 orang peserta yang diamanatkan untuk mengabdi di Talaud tiba dengan selamat di bandara Melonguane, ibukota Kabupaten Kepuauan Talaud. Panas terik pulau perbatasan menyambut kami. Awan-awan putih raksasa menari di antara langit biru. Sejauh mata memandang terbentang pepohonan kelapa yang riuh melambaikan nyiurnya. Ini ucapan selamat datang sederhana dari rumah baru kami.
Dari bandara kami diantar ke kantor Dinas Pendidikan dengan menggunakan bentor1 Mungkin karena kontur tanah yang berbukit-bukit dan jalan aspal yang sudah kropos disana-sini membuat orang lebih memilih sepeda motor sebagai tenaga dorong dibandingkan sepeda ontel. Nantinya setelah beberapa bulan menetap di sini barulah saya tahu bahwa memang tak ada yang namanya angkot atau mikrolet apalagi taxi di seantero kabupaten ini.
Acara perkenalan dengan kepala sekolah tempat kami bertugas dan ramah tamah di dinas berlangsung sederhana dan hikmat. Saya dan seorang teman, Mas Anjar, ditempatkan disekolah yang sama. Oleh Ibu kepala sekolah yang juga merupakan ibu angkat saya di kampung pengabdian, kami dijemput dengan sebuah mobil kijang.
“Wah, rupanya tempat mengabdi saya sudah beraspal. Buktinya, ibu kepala sekolah saja punya mobil”, pikir saya bahagia.
Dan perjalanan pun dimulai…
           Kami menempuh sekitar 6 jam perjalanan sebelum tiba di kampung kecil tempat saya mengabdi. Ini adalah rute perjalanan 3T; terparah, terburuk dan tersiksa yang pernah saya tempuh. Seluruh tenaga dan isi perut saya habis tertumpah disepanjang jalan antara kota kabupaten dan kampung. Dugaan saya tentang jalanan beraspal tadi ternyata salah besar! Alih-alih jalanan aspal, malah yang kami hadapi adalah jalan tanah berbatu yang sepertinya memang ditata untuk menguji ketahanan perut seseorang. Kami bahkan melewati sebuah kuala besar tanpa jembatan. Untung saja air di kuala hari itu sedang surut. Mobil masih bisa lewat. Syukurlah.
“Beruntung enci dan engku. Kalau airnya naik, torang so mau turun disini kong bajalang kaki ke kampung” kata ibu kepala sekolah sambil tersenyum.
Saya tahu pasti makna senyum itu, hari ini kalian boleh beruntung tak perlu berjibaku jalan kaki dengan memikul koper, tapi besok, siapa yang tahu.

           Mobil kijang itu dipaksa beroffroad-ria ditengah medan yang seperti punden berundak-undak. Meliuk-liuk diantara bukit dan jurang, memantul-mantul di antara batu cadas dan tanah berlumpur. Onderdil mobil ini berderit-derit mengkhawatirkan setiap kali om sopir melakukan maneuver. Empat jempol saya untuk om sopir oto kijang. Sepanjang perjalanan dalam hati saya berdoa semoga mobil ini tidak macet. Bayangkan saja jika kami terpaksa berhenti ditengah jalan, ditengah hutan seperti ini, gelap tanpa lampu jalan. Di film-film, dalam situasi seperti ini biasanya muncul seseorang berwajah seram penuh bekas sabetan benda tajam menggotong chain saw yang berderum-derum sangar. Ah, maaf pikiran saya mulai merayap tak karuan.
             Kira-kira pukul 9 malam kami tiba di rumah ibu kepala sekolah. Baru pada saat itulah saya tahu, mobil kijang tangguh yang kami tumpangi tadi hanya mobil sewaan. Disini lazim disebut oto taxi gelap. Disebut “gelap” karena beroperasi sebagai mobil angkutan tanpa ijin resmi. Hah, pantas saja mobil ini rela menembus jalanan separah itu.
             Saya sangat lelah bahkan untuk membuka mata pun rasanya sudah tak sanggup. Ingin sekali segera membaringkan tubuh di sebuah bidang datar nan lembut bernama kasur. Namun demi menghargai sang empunya rumah yang sudah berpayah-payah menerima kami, maka saya memaksakan diri menikmati segelas teh hangat dan mandi. Baru setelah itu mengakhiri lelah yang mengikat seluruh tubuh, tidur.
Cahaya matahari keemasan menerobos masuk tirai jendela. Menciptakan pola garis vertikal di dinding. Sudah pagi lagi. Rasanya baru semenit yang lalu saya memejamkan mata, lelah masih menggayuti seluruh tubuh. Saya mengecek jam dilayar ponsel, 05:47. Ah, sekalian saja beri kabar pada orang-orang rumah.
“Ma, saya sudah sampai” sms yang saya ketik singkat dan jelas.
Jari saya otomatis memencet tombol kirim
“sending failed” begitu tertera dilayar ponsel saya. Great, no signal!
             Saya membiasakan diri dengan keadaan kamar yang saya tempati. Lemari, tempat tidur dan meja, semuanya biasa saja. Baru saat saya beranjak dari tempat tidur ada hal yang luar biasa. Mas anjar tidur di lantai beralaskan kasur kecil tepat di sisi tempat tidur saya. Seharusnya ini biasa saja tapi bisakah anda bayangkan bahwa setiap hari selama satu tahun kejadian seperti ini berulang? Berbagi kamar dengan orang asing, beralawanan gender pula. Namun begitulah kenyataannya. Untunglah saya dan mas anjar adalah dua orang manusia yang memiliki kehormatan dan rasa saling menghargai tingkat tinggi. Toleransi antar umat berbeda bentuk biologis pun sangat tinggi. Kami sudah seperti kakak beradik, setidaknya begitulah yang saya rasakan.
             Setelah sembuh dari shock ringan karena situasi di kamar, saya pun keluar. Semalam saya benar-benar tidak ingat sudah diberi tahu jikalau kamar kosong dirumah ini hanya ada satu.

Keluar dari pintu rumah, saya disambut dengan pemandangan separuh firdaus. Langit kuning keemasan berbalut sinar fajar dibingkai awan yang juga keemasan. Laut biru seperti bercampur emas berkilau-kilau. Segala sesuatu yang tersentuh cahaya matahari seolah-olah terbuat dari emas, atap rumah, batu, pasir bahkan pohon kelapa pun seakan berbalur emas. Sang matahari separuh mencuat dari laut. Tangguh, ganas dan tak terkalahkan, kira-kira begitulah kesan cahaya matahari di tanah Talaud ini. Matahari yang terbit di laut itu kelihatan jauh lebih besar dibandingkan dengan yang bersinar dari celah-celah rumah dan gunung yang biasa saya saksikan. Indah, indah sekali.
Rumah ibu kepala sekolah hanya berjarak beberapa meter dari bibir pantai samudera pasifik. Maka sepanjang satu tahun ini saya akan kenyang melahap matahari pantai dan puas menikmati asinnya air laut.

                                                                         ***
            Riung, sebuah desa kecil berpenghuni 168 kk adalah rumah baru saya. Dan di SDN Riung, satu-satunya sekolah dasar untuk desa Riung dan Riung utara, ladang saya menggarap benih-benih generasi masa depan. Dari luar sekolah ini terlihat cukup baik terawat. Berdinding bata dan beratap seng. Namun semakin dekat, label 3T pun semakin jelas terbaca. Tanpa pagar dan gerbang yang membatasi antara halaman sekolah dan halaman rumah warga. Juga tanpa toilet. Jadi tidak perlu mengerutkan kening ketika halaman belakang kelas berbau pesing.
            “Harap maklum, ini 3T” begitulah kata ibu kepala sekolah.
            Jujur saja, saat pertama saya diberitahu bahwa saya ditugaskan di sekolah dasar, saya tidak merasa punya cukup self confident untuk mengajar di SD. Latar belakang pendidikan yang bukan PGSD juga ketidaksearahan sitem saraf otak saya dengan segala sesuatu yang berurusan dengan angka melemahkan hasrat untuk berbagi ilmu dengan 119 mutiara-mutiara terluar, terdepan dan tertinggal ini. Kemudian setela berbulan-bulan berikutnya di sini, baru saya tahu ternyata tiga dari delapan orang guru di SDN Riung ini hanyalah lulusan SPG yang kemudian menempuh pendidikan jarak jauh demi gelar S.Pd dan sertifikasi. Dua orang lainnya lulusan SGO, dua orang lagi berlatar belakang guru agama Kristen. Sedangkan satu orang guru lainnya lulusan PGSD namun itupun hanya DII. Dengan keanekaragaman latar belakang pendidikan ini, para guru berjuang menjadi guru kelas yang dituntut mampu mengajarkan segala jenis matapelajaran.
            Melihat keadaan guru-guru dengan segala kekurangannya, saya teguhkan hati untuk berusaha sebaik mungkin memberi segala yang saya ketahui pada anak-anak. Dengan berbekal materi SD yang untungnya sempat saya tampung dari teman-teman saat prakondisi juga tambahan dari Mas Anjar yang memang lulusan PGSD maka saya maju ke medan ajar.
                                                                        ***

            Wajah cerah mereka berbinar penuh semangat. Meskipun dengan pakaian basah terbenam keringan sehabis bermain bola plastik penyok saat istirahat tadi. Baju tidak dikancing apalagi dimasukan dalam celana, beberapa anak bahkan tidak mengenakan sepatu. Namun, mata-mata kecil mereka pancarkan rasa ingin tahu yang luar biasa. Entah ingin tahu tentang pelajaran yang akan di ajarkan atau tentang orang asing yang berdiri dihadapan mereka. Ini hari pertama saya mengajar.
Dihadapan 19 pasang mata cerah itu, saya ciptakan replika NKRI. Diatas whiteboard kusam bukti pengabdiannya yang sudah hampir purna, saya menggambar peta nusantara. Di setiap pulau besar saya tuliskan nama pulaunya. Sedangkan di atas pulau Sulawesi agak ke kanan, saya bubuhkan tanda titik kecil yang saya beri tanda bintang.
            Decak kagum anak-anak mulai terdengar.
            “Enci jago mo balukis. Ini peta Indonesia kang Enci? torang tahu”.
            Saya tersenyum mendengar celetuk mereka sambil terus melanjutkan gambar. Saat gambar selesai, saya berbalik dan mendapati separuh isi kelas sudah berdiri tepat dibelakang saya. Mereka berdesakan dan berebut untuk melihat gambar lebih dekat. Lalu seorang anak maju mengahampiri peta, dengan tangannya ia menunjuk tanda bintang yang tadi saya gambar.
            “Ini apa, Enci?” tanyanya lantang
Saya terperanjat.
            “Ini torang pe kampung. Tana Taroda. Torang samua ada di sini sekarang”. Jawab saya pelan
Dahinya berkerut. Raut wajahnya menyuarakan keterkejutan, bentuk protes atas penjelasan saya.
            “Kacilik ini Enci?” tanyanya lagi.
Matanya yang setajam elang menuntut penjelasan lebih. Jari telunjuknya masih menempel tepat di tengah tanda bintang, seolah mengukur luas kampungnya di atas peta.
            Sekarang gantian saya yang terkejut. Anak-anak ini sudah duduk dikelas V, harusnya meraka sudah khatam peta Negara ini apalagi letak pulau tempat mereka berpijak ini.
            “Ini kan Cuma gambar, skalanya memang dibuat kecil. Kalau Enci bikin gambar besar, so nyanda mo cukup ini papan. Memang kalau dibanding dengan pulau-pulau lain, torang punya Kabupaten Talaud ini kecil. Tapi Kenyataannya torang bisa bikin rumah besar dan ada lapangan bola kaki besaaaaarrr sekali”.
            Anak bermata elang itu tersenyum, sepertinya cukup puas dengan penjelasan yang diberikan. Saya melanjutkan pelajaran sekaligus dengan perkenalan diri. Saya menjelaskan tentang Indonesia, batas-batas Negara sampai keanekaragaman yang berpadu menjadi satu Indonesia. Saya bercerita tentang perjalanan saya hingga bisa tiba di Talaud, tentang pulau jawa tempat  saya kuliah dan tentang Pulau Flores, kampung halaman saya.
            Anak-anak itu begitu bersemangat, mereka bertanya banyak hal. Dari pertanyaan seperti. “apakah pesawat bisa berhenti di langit seperti mobil yang berhenti ditengan jalan” sampai “apakah Bapak Presiden juga memelihara babi seperti orangtuanya dirumah”. Saya sibuk meladeni pertanyaan mereka sampai tak terasa waktu belajar hampir selesai. 15 menit waktu yang tersisa saya berikan kepada anak-anak untuk menggambar peta NKRI di bukunya masing-masing.
            Sambil menunggu anak-anak selesai, saya mengamati ruang kelas. Dinding tembok tua berbalut cat putih kusam berhias stempel tapak kaki, tangan, sepatu bahkan bola. Lantainya semen penuh lubang menganga. Pintu tanpa kunci, mudah saja segala jenis peliharaan warga sekitar sekolah untuk masuk dan menjadikan kelas sebagai arena bermain. Meja guru polos tanpa taplak apalagi bunga. Berdiri kokoh meski agak miring karena lantai di sisi kanannya sudah berlubang. Lacinya tertutup, sengaja diganjal dengan lipatan kertas agar tidak terbuka. Karena penasaran akan isinya, saya mencoba membuka laci tersebut. Ternyata meskipun hanya diganjal dengan kertas namun laci itu sulit dibuka. Sepertinya laci dan kertas pengganjalnya sudah lama tak tersentuh tangan hingga menjadi begitu keras. Ketika Lacinya berhasil terbuka, tangan saya masuk mencoba meraih kedalamnya. Dari dalam laci itu saya berharap menemukan buku-buku pelajaran yang bisa dijadikan pedoman pelajaran. Nyatanya laci itu hanya mempersembahkan kekecewaan karena yang bisa saya temukan hanya sobekan-sobekan kertas berdebu dan sebuah buntalan kertas yang sudah tak layak disebut buku.Tak ada halaman cover. Dipojok kanan bawah pada lembar pertamanya tertulis “Pendidikan Kesehatan dan Jasmani 5b”.
              Saya lalu beralih pada lemari buku di pojok kanan kelas. Dahulu warnanya pasti merah cerah. Namun sekarang warnanya berubah kusam seolah menderita penyakit kulit. Seperti meja guru, lemari ini juga miring, disandarkan pada dinding agar tak roboh. Salah satu kakinya sudah lapuk, habis dimakan rayap lapar. Dinding belakangnya berlubang-lubang. Saya tidak perlu membuka pintu lemarinya. Karena meskipun lemari ini terkunci, saya tidak perlu repot-repot mencari kuncinya karena kaca yang seharusnya melengkapi pintu lemari sudah tak ada lagi. Saya mengamati rak-raknya. Rupanya lemari ini merupakan lemari serba guna. Di rak paling bawah ada setengah lusin sapu lidi ditumpuk sembarangan bersama kertas bekas dan benda-benda lain yang mungkin sengaja disembunyikan para penghuni kelas. Di rak paling atas ada tumpukan gambar-gambar pahlawan yang bingkainya sudah patah juga teks proklamasi yang kusut dan sobek. Semuanya berbalut debu dan telur-telur rayap. Tersisa rak tengah yang berisi beberapa buku.
 “Ahh…akhirnya!” seru saya dalam hati
              Debu tebal menutupi beberapa bagian buku bahkan ada pula buku yang sisi-sisinya lenyap dimakan rayap. Saya mulai meneliti buku-buku itu satu per satu, tentu saja lebih dulu membebaskan buku-buku itu dari debu dan segerombolan rayap. Matematika, penjaskes, TIK dan sains. Sisanya sulit diidentifikasi karena halaman covernya sudah tak ada. Ya..setidaknya masih ada buku. Mata saya lalu ditarik turun pada tahun penerbitannya. Dan ….. hallooooo kurikulum??? Buku-buku ini terbitan jaman orde baru, beberapa di jaman reformasi, sisanya dipermulaan jaman demokrasi. Saya berpaling menatap pada anak-anak yang sibuk menjipak gambar peta, dalam hati saya bertanya-tanya, lalu dari mana guru-guru mendapatkan bahan ajar untuk memuaskan dahaga ilmu anak-anak ini? Bagaimana pula anak-anak ini bisa lolos UN yang setiap tahun selalu melambungkan standar nilainya? Nantinya setelah beberapa bulan mengabdi dan mengalami moment UN tersebut disini, barulah saya tahu ternyata UN di daerah 3T bukan hanya untuk para murid melainkan juga bagi para guru. Demi nama baik, kehormatan dan penghargaan semua pihak yang tercakup dalam lingkungan pendidikan kabupaten pun segala cara dihalalkan.
            Sepanjang hari saya merenungkan kejadian hari pertama mengajar di sekolah 3T. Hal  semacam ini sudah sering saya tonton di TV juga sering dimuat dikoran tapi sensari rasanya sungguh berbeda saat daya mengalami sendiri. Heran sekaligus kecewa saya rasakan. Bukan pada anak bermata elang yang tak tahu letak pulau tempatnya berpijak tetapi pada kenyataan pendidikan kita yang masih tidak mampu merangkul anak-anak diteras negeri. Ini bukan saja masalah lulus UN yang toh hanya angka di atas kertas tapi lebih dari itu, ini tentang kesangguptidakannya mutiara-mutiara 3T ini untuk bersaing dengan mereka yang berenang diatas kelengkapan fasilitas di arena globalisasi.
            Kenyataan yang saya hadapi dikelas hari ini menyentakkan saya dari kenyamanan pendidikan kota yang seumur hidup saya kecap. Buku-buku lengkap tinggal pilih. Jaringan internet untuk download kiri kanan pun tersedia. Disini, buku pelajaran itu barang istimewa nan mahal. Jaringan internet? Oh please don’t ask, signal pun tak ada. Saya seperti bangun dari tidur dan mendapati jurang yang luar biasa jauh terbentang antara kota dan desa, antara pusat dan perbatasan, antara saya dan mereka. Keterbatasan akan sumber belajar menghalau mereka dari derasnya globalisasi. Sebagai guru bahasa inggris, Saya selalu memberikan pemahaman pada murid-murid akan pentingnya mengerti bahasa inggris, mengerti akan globalisasi dan technologi dunia tapi apalah arti itu semua jika negaranya sendiri saja mereka tak tahu.
           “Ah ya, saya lupa, beginilah daerah 3T. Seperti kata ibu kepala sekolah; harap maklum” Memang benar inilah tujuan mengapa saya dikirim kesini. Dengan maksud untuk menyetarakan pendidikan, untuk menunjukan bahwa mereka pun anak kandung Ibu Pertiwi. Tapi tetap saaja akal saya menuntut tersangka atas kekurangan yang terjadi di sini.
            Sudah jelas pemerintah terus mengupayakan yang terbaik. Segala bentuk bantuan untuk perbaikan fasilitas sekolah, kelengkapan media pembelajaran, dana BOS sampai pengiriman guru-guru SM3T merupakan bukti nyata yang bisa dilihat. Namun lagi-lagi itu semua  belum cukup. Para guru di sekolah pun tak bisa disalahkan. Tentu saja mereka punya cukup uang untuk sekedar membeli buku pelajaran sebagai pedoman mengajar. Namun di seantero kabupaten ini tidak terdapat satu pun toko yang memasang plang bertuliskan: Toko Buku. Toko buku terdekat berada di Manado, ibu kota propinsi Sulawesi Utara. Dan itu berarti more money and more energy karena untuk bisa mencapainya, mereka harus rela terombang-ambing dilautan semalam suntuk.
            Ini bukan juga salah kurikulum yang senantiasa berubah seperti musim buah-buahan. Bentuk kurikulum itu pun abstrak hasil kreatifitas para ahli. Apalagi para siswa. Yang mereka tahu hanyalah datang kesekolah dan belajar. Belajar  apapun tidak masalah asal keluar dari mulut guru-gurunya. Lalu salah siapa peristiwa hari ini terjadi?
            Diakhir pelajaran, anak bermata elang tadi menyempatkan dirinya menunjukan hasil kerjanya kepada saya. Diatas bukunya tergambar peta Indonesia sempuna lengkap dengan gambar bintang yang besar mengelilingi kepulauan Talaud. Besar bintangnya hampir seluas pulau jawa. Tanda bintang itu seolah-olah berarti: kami boleh kecil, terpinggirkan bahkan hampir dicaplok Filipina, tapi lihat saja suatu hari nanti kami pun akan berjaya sebagai generasi penerus NKRI.
Pekerjaanya saya balas dengan pujian dan senyuman sambil mengusap rambutnya.
“Bagus. Ngana ada bakat jadi pelukis”
Senyum balasanya cerah sekali, seperti matahari dihari pertama saya tiba di desa ini. Mata elangnya pancarkan sinar bening. Membalut setiap inci tubuh saya dengan cahayanya. Jauh kedalam mata hitamnya, saya melihat refleksi diri saya. Dan saya menemukan jawaban atas pertanyaan; siapakah yang bertanggung jawab atas kekurangan diderah 3T ini. Saya. Anda juga. Bahkan semua elemen bangsa ini tanpa terkecuali. Entah sebagai menteri atau hanya penjual asongan diterminal.
            Kita semua adalah pihak-pihak yang bersalah jika kelak anak-anak ini tak mampu maju ke lajur terdepan Negara ini karena kekurangan mereka sekarang. Maka sejak hari pertama di sekolah 3T ini saya bertekad untuk berbagi ilmu yang saya miliki. Setiap inci pengetahuan yang saya punya akan saya pinjamkan pada mereka. Dengan imbalan suatu hari kelak mereka akan mengembalikan pinjaman ilmu ini dengan karya dan kreatifitas dalam membangun nusa dan bangsa.
            Selalu ingatlah, berapa banyak orang yang merumuskan atom yang mampu menghancurkan Nagasaki dan Hirosima? Satu. Berapa banyak orang yang dibutuhkan untuk memulai sorakan dan gelombang di tribun penonton saat pertandingan berlangsung? Satu. Maka begitulah kita, jika setiap tahunnya diantara dua ratus juta jiwa manusia Indonesia, bertambah 3000 orang yang tulus meminjamkan ilmunya pada anak bangsa di pelosok maka bayangkanlah beberapa tahun kedepan kita akan mampu mewujudkan cita-cita para pendiri negeri untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka kelak takan ada lagi jurang antara kita, tak ada lagi sebutan terderpan, terluar, tertinggal karena kita berdiri di garis yang sama. Maka kelak tak perlu ada lagi elegi penghuni teras negeri.


Elegi Penghuni Teras Negeri
Riung, 18 oktober 2012

Selamat pagi pak menteri
Hari ini
Tak ada sepatu kupakai
Hanya ada sepasang tapak kaki
Hitam kasar penuh daki
Tak ada pula kain seragam serasi
Hanya kaus lusuh bergambar partai
Peninggalan emak pemilu juli
Jangan tanya tentang buku dilemari
Sedang selembarpun tak mampu kubeli
Jangan lihat wajahku hanya dari kulit ari
Aku pun mengerti arti “padamu negeri”
Tak ada peta di dinding kami
Tetapi Indonesia tetap ibu pertiwi sejati

Sejujurnya dari hati
Aku tak butuh sekolah tinggi
Cukuplah paham tentang cengkih dan padi
Toh, banyak sarjana mati berdiri
Karena tak kunjung dapat kursi

Banyak mimpi yang ingin kugapai
Tapi tak lebih dari hidup yang damai
Ada bara di setiap hari
Ada asa di lubuk hati
Butuh jiwa setangguh matahari
Untuk cita menjadi berarti

Selamat pagi pak menteri
Ini dari kami
Yang berdiri di teras negeri




*kuala: sungai
*enci: sapaan untuk guru perempuan yang belum menikah
*engku: sapaan untuk guru laki-laki yang belum menikah
*kalau airnya naik, kita harus turun disini dan berjalan kaki ke kampung
*oto: mobil
*enci pandai menggambar. Ini peta Indonesia kan enci? Kami tahu
*ini kampung kita. Tanah Talaud. Kita semua ada disini sekarang
*sekecil ini enci?
*sudah tidak cukup

Tidak ada komentar:

Posting Komentar