Ini hanya sepotong cerita ketika saya masih peserta SM3T angkatan ke II di Kab. Kepl. Talaud, Sulawesi Utara
Pagi itu, usai melakukan kegiatan wajib di barak DODIKJUR, kami
dikumpulkan di lapangan hitam. Pohon-pohon perdu di sisi lapangan tak
cukup tangguh menghalau matahari. Sinarnya menyentuh kulit kami yang
panas dingin tak karuan seperti terkena malaria akut. Hari ini merupakan
hari pengumuman tempat mengabdi. Satu per satu peserta di panggil dan
dikumpulkan bersama rekan-rekan satu tempat pengabdian. Manggarai,
Nunukan dan Malinau sudah dipanggil.
“Kabupaten Kepulauan Talaud”
kata Pak Eddy kencang, koordinator SM3T UM, melalui speaker. Di
tangannya ada kertas yang menentukan nasib kami setahun kedepan.
Saya menanti, harap-harap cemas. Separuh nama peserta yang
ditempatkan di kabupaten kepulauan Talaud sudah dipanggil. Saya semakin
cemas. Cemas karena nama saya tak kunjung di sebut, cemas karena
membanyangkan situasi tempat mengabdi, cemas karena harus merantau lagi
setelah 4 tahun kuliah di tanah jawa dan cemas juga karena saya merasa
cemas akan semuanya. Untung saja nama saya segera disebut sebelum
jantung saya berhasil menerobos rusuk dan meloncat keluar.
Okay,
Talaud. How bad that you could be? Maka segeralah saya mencari informasi
tentang kabupaten kepulauan Talaud. Sayang, tak banyak yang bisa saya
dapat selain gambar peta yang menunjukan bahwasanya kabupaten ini
berbatasan langsung dengan daerah Davao del Sur (pulau Mindanau)
Philipina dan foto-foto saat gempa menghantam kabupaten ini 4 tahun yang
lalu.
***
Tanggal 12 oktober 2012, kami 30 orang peserta yang diamanatkan
untuk mengabdi di Talaud tiba dengan selamat di bandara Melonguane,
ibukota Kabupaten Kepuauan Talaud. Panas terik pulau perbatasan
menyambut kami. Awan-awan putih raksasa menari di antara langit biru.
Sejauh mata memandang terbentang pepohonan kelapa yang riuh melambaikan
nyiurnya. Ini ucapan selamat datang sederhana dari rumah baru kami.
Dari bandara kami diantar ke kantor Dinas Pendidikan dengan menggunakan bentor1
Mungkin karena kontur tanah yang berbukit-bukit dan jalan aspal yang
sudah kropos disana-sini membuat orang lebih memilih sepeda motor
sebagai tenaga dorong dibandingkan sepeda ontel. Nantinya setelah
beberapa bulan menetap di sini barulah saya tahu bahwa memang tak ada
yang namanya angkot atau mikrolet apalagi taxi di seantero kabupaten
ini.
Acara perkenalan dengan kepala sekolah tempat kami bertugas
dan ramah tamah di dinas berlangsung sederhana dan hikmat. Saya dan
seorang teman, Mas Anjar, ditempatkan disekolah yang sama. Oleh Ibu
kepala sekolah yang juga merupakan ibu angkat saya di kampung
pengabdian, kami dijemput dengan sebuah mobil kijang.
“Wah, rupanya tempat mengabdi saya sudah beraspal. Buktinya, ibu kepala sekolah saja punya mobil”, pikir saya bahagia.
Dan perjalanan pun dimulai…
Kami menempuh sekitar 6 jam perjalanan sebelum tiba di kampung kecil
tempat saya mengabdi. Ini adalah rute perjalanan 3T; terparah, terburuk
dan tersiksa yang pernah saya tempuh. Seluruh tenaga dan isi perut saya
habis tertumpah disepanjang jalan antara kota kabupaten dan kampung.
Dugaan saya tentang jalanan beraspal tadi ternyata salah besar!
Alih-alih jalanan aspal, malah yang kami hadapi adalah jalan tanah
berbatu yang sepertinya memang ditata untuk menguji ketahanan perut
seseorang. Kami bahkan melewati sebuah kuala besar tanpa jembatan. Untung saja air di kuala hari itu sedang surut. Mobil masih bisa lewat. Syukurlah.
“Beruntung enci dan engku. Kalau airnya naik, torang so mau turun disini kong bajalang kaki ke kampung” kata ibu kepala sekolah sambil tersenyum.
Saya
tahu pasti makna senyum itu, hari ini kalian boleh beruntung tak perlu
berjibaku jalan kaki dengan memikul koper, tapi besok, siapa yang tahu.
Mobil kijang itu dipaksa beroffroad-ria ditengah medan yang seperti
punden berundak-undak. Meliuk-liuk diantara bukit dan jurang,
memantul-mantul di antara batu cadas dan tanah berlumpur. Onderdil mobil
ini berderit-derit mengkhawatirkan setiap kali om sopir melakukan
maneuver. Empat jempol saya untuk om sopir oto kijang. Sepanjang
perjalanan dalam hati saya berdoa semoga mobil ini tidak macet.
Bayangkan saja jika kami terpaksa berhenti ditengah jalan, ditengah
hutan seperti ini, gelap tanpa lampu jalan. Di film-film, dalam situasi
seperti ini biasanya muncul seseorang berwajah seram penuh bekas sabetan
benda tajam menggotong chain saw yang berderum-derum sangar. Ah, maaf
pikiran saya mulai merayap tak karuan.
Kira-kira
pukul 9 malam kami tiba di rumah ibu kepala sekolah. Baru pada saat
itulah saya tahu, mobil kijang tangguh yang kami tumpangi tadi hanya
mobil sewaan. Disini lazim disebut oto taxi gelap. Disebut
“gelap” karena beroperasi sebagai mobil angkutan tanpa ijin resmi. Hah,
pantas saja mobil ini rela menembus jalanan separah itu.
Saya sangat lelah bahkan untuk membuka mata pun rasanya sudah tak
sanggup. Ingin sekali segera membaringkan tubuh di sebuah bidang datar
nan lembut bernama kasur. Namun demi menghargai sang empunya rumah yang
sudah berpayah-payah menerima kami, maka saya memaksakan diri menikmati
segelas teh hangat dan mandi. Baru setelah itu mengakhiri lelah yang
mengikat seluruh tubuh, tidur.
Cahaya matahari keemasan menerobos
masuk tirai jendela. Menciptakan pola garis vertikal di dinding. Sudah
pagi lagi. Rasanya baru semenit yang lalu saya memejamkan mata, lelah
masih menggayuti seluruh tubuh. Saya mengecek jam dilayar ponsel, 05:47.
Ah, sekalian saja beri kabar pada orang-orang rumah.
“Ma, saya sudah sampai” sms yang saya ketik singkat dan jelas.
Jari saya otomatis memencet tombol kirim
“sending failed” begitu tertera dilayar ponsel saya. Great, no signal!
Saya membiasakan diri dengan keadaan kamar yang saya tempati. Lemari,
tempat tidur dan meja, semuanya biasa saja. Baru saat saya beranjak dari
tempat tidur ada hal yang luar biasa. Mas anjar tidur di lantai
beralaskan kasur kecil tepat di sisi tempat tidur saya. Seharusnya ini
biasa saja tapi bisakah anda bayangkan bahwa setiap hari selama satu
tahun kejadian seperti ini berulang? Berbagi kamar dengan orang asing,
beralawanan gender pula. Namun begitulah kenyataannya. Untunglah saya
dan mas anjar adalah dua orang manusia yang memiliki kehormatan dan rasa
saling menghargai tingkat tinggi. Toleransi antar umat berbeda bentuk
biologis pun sangat tinggi. Kami sudah seperti kakak beradik, setidaknya
begitulah yang saya rasakan.
Setelah sembuh dari
shock ringan karena situasi di kamar, saya pun keluar. Semalam saya
benar-benar tidak ingat sudah diberi tahu jikalau kamar kosong dirumah
ini hanya ada satu.
Keluar dari pintu rumah, saya
disambut dengan pemandangan separuh firdaus. Langit kuning keemasan
berbalut sinar fajar dibingkai awan yang juga keemasan. Laut biru
seperti bercampur emas berkilau-kilau. Segala sesuatu yang tersentuh
cahaya matahari seolah-olah terbuat dari emas, atap rumah, batu, pasir
bahkan pohon kelapa pun seakan berbalur emas. Sang matahari separuh
mencuat dari laut. Tangguh, ganas dan tak terkalahkan, kira-kira
begitulah kesan cahaya matahari di tanah Talaud ini. Matahari yang
terbit di laut itu kelihatan jauh lebih besar dibandingkan dengan yang
bersinar dari celah-celah rumah dan gunung yang biasa saya saksikan.
Indah, indah sekali.
Rumah ibu kepala sekolah hanya berjarak
beberapa meter dari bibir pantai samudera pasifik. Maka sepanjang satu
tahun ini saya akan kenyang melahap matahari pantai dan puas menikmati
asinnya air laut.
***
Riung, sebuah desa kecil
berpenghuni 168 kk adalah rumah baru saya. Dan di SDN Riung,
satu-satunya sekolah dasar untuk desa Riung dan Riung utara, ladang saya
menggarap benih-benih generasi masa depan. Dari luar sekolah ini
terlihat cukup baik terawat. Berdinding bata dan beratap seng. Namun
semakin dekat, label 3T pun semakin jelas terbaca. Tanpa pagar dan
gerbang yang membatasi antara halaman sekolah dan halaman rumah warga.
Juga tanpa toilet. Jadi tidak perlu mengerutkan kening ketika halaman
belakang kelas berbau pesing.
“Harap maklum, ini 3T” begitulah kata ibu kepala sekolah.
Jujur saja, saat pertama saya diberitahu bahwa saya ditugaskan di
sekolah dasar, saya tidak merasa punya cukup self confident untuk
mengajar di SD. Latar belakang pendidikan yang bukan PGSD juga
ketidaksearahan sitem saraf otak saya dengan segala sesuatu yang
berurusan dengan angka melemahkan hasrat untuk berbagi ilmu dengan 119
mutiara-mutiara terluar, terdepan dan tertinggal ini. Kemudian setela
berbulan-bulan berikutnya di sini, baru saya tahu ternyata tiga dari
delapan orang guru di SDN Riung ini hanyalah lulusan SPG yang kemudian
menempuh pendidikan jarak jauh demi gelar S.Pd dan sertifikasi. Dua
orang lainnya lulusan SGO, dua orang lagi berlatar belakang guru agama
Kristen. Sedangkan satu orang guru lainnya lulusan PGSD namun itupun
hanya DII. Dengan keanekaragaman latar belakang pendidikan ini, para
guru berjuang menjadi guru kelas yang dituntut mampu mengajarkan segala
jenis matapelajaran.
Melihat keadaan guru-guru dengan
segala kekurangannya, saya teguhkan hati untuk berusaha sebaik mungkin
memberi segala yang saya ketahui pada anak-anak. Dengan berbekal materi
SD yang untungnya sempat saya tampung dari teman-teman saat prakondisi
juga tambahan dari Mas Anjar yang memang lulusan PGSD maka saya maju ke
medan ajar.
***
Wajah cerah mereka berbinar penuh semangat. Meskipun dengan pakaian
basah terbenam keringan sehabis bermain bola plastik penyok saat
istirahat tadi. Baju tidak dikancing apalagi dimasukan dalam celana,
beberapa anak bahkan tidak mengenakan sepatu. Namun, mata-mata kecil
mereka pancarkan rasa ingin tahu yang luar biasa. Entah ingin tahu
tentang pelajaran yang akan di ajarkan atau tentang orang asing yang
berdiri dihadapan mereka. Ini hari pertama saya mengajar.
Dihadapan
19 pasang mata cerah itu, saya ciptakan replika NKRI. Diatas whiteboard
kusam bukti pengabdiannya yang sudah hampir purna, saya menggambar peta
nusantara. Di setiap pulau besar saya tuliskan nama pulaunya. Sedangkan
di atas pulau Sulawesi agak ke kanan, saya bubuhkan tanda titik kecil
yang saya beri tanda bintang.
Decak kagum anak-anak mulai terdengar.
“Enci jago mo balukis. Ini peta Indonesia kang Enci? torang tahu”.
Saya tersenyum mendengar celetuk mereka sambil terus melanjutkan
gambar. Saat gambar selesai, saya berbalik dan mendapati separuh isi
kelas sudah berdiri tepat dibelakang saya. Mereka berdesakan dan berebut
untuk melihat gambar lebih dekat. Lalu seorang anak maju mengahampiri
peta, dengan tangannya ia menunjuk tanda bintang yang tadi saya gambar.
“Ini apa, Enci?” tanyanya lantang
Saya terperanjat.
“Ini torang pe kampung. Tana Taroda. Torang samua ada di sini sekarang”. Jawab saya pelan
Dahinya berkerut. Raut wajahnya menyuarakan keterkejutan, bentuk protes atas penjelasan saya.
“Kacilik ini Enci?” tanyanya lagi.
Matanya
yang setajam elang menuntut penjelasan lebih. Jari telunjuknya masih
menempel tepat di tengah tanda bintang, seolah mengukur luas kampungnya
di atas peta.
Sekarang gantian saya yang terkejut.
Anak-anak ini sudah duduk dikelas V, harusnya meraka sudah khatam peta
Negara ini apalagi letak pulau tempat mereka berpijak ini.
“Ini kan Cuma gambar, skalanya memang dibuat kecil. Kalau Enci bikin gambar besar, so nyanda mo cukup
ini papan. Memang kalau dibanding dengan pulau-pulau lain, torang punya
Kabupaten Talaud ini kecil. Tapi Kenyataannya torang bisa bikin rumah
besar dan ada lapangan bola kaki besaaaaarrr sekali”.
Anak bermata elang itu tersenyum, sepertinya cukup puas dengan
penjelasan yang diberikan. Saya melanjutkan pelajaran sekaligus dengan
perkenalan diri. Saya menjelaskan tentang Indonesia, batas-batas Negara
sampai keanekaragaman yang berpadu menjadi satu Indonesia. Saya
bercerita tentang perjalanan saya hingga bisa tiba di Talaud, tentang
pulau jawa tempat saya kuliah dan tentang Pulau Flores, kampung halaman
saya.
Anak-anak itu begitu bersemangat, mereka
bertanya banyak hal. Dari pertanyaan seperti. “apakah pesawat bisa
berhenti di langit seperti mobil yang berhenti ditengan jalan” sampai
“apakah Bapak Presiden juga memelihara babi seperti orangtuanya
dirumah”. Saya sibuk meladeni pertanyaan mereka sampai tak terasa waktu
belajar hampir selesai. 15 menit waktu yang tersisa saya berikan kepada
anak-anak untuk menggambar peta NKRI di bukunya masing-masing.
Sambil menunggu anak-anak selesai, saya mengamati ruang kelas. Dinding
tembok tua berbalut cat putih kusam berhias stempel tapak kaki, tangan,
sepatu bahkan bola. Lantainya semen penuh lubang menganga. Pintu tanpa
kunci, mudah saja segala jenis peliharaan warga sekitar sekolah untuk
masuk dan menjadikan kelas sebagai arena bermain. Meja guru polos tanpa
taplak apalagi bunga. Berdiri kokoh meski agak miring karena lantai di
sisi kanannya sudah berlubang. Lacinya tertutup, sengaja diganjal dengan
lipatan kertas agar tidak terbuka. Karena penasaran akan isinya, saya
mencoba membuka laci tersebut. Ternyata meskipun hanya diganjal dengan
kertas namun laci itu sulit dibuka. Sepertinya laci dan kertas
pengganjalnya sudah lama tak tersentuh tangan hingga menjadi begitu
keras. Ketika Lacinya berhasil terbuka, tangan saya masuk mencoba meraih
kedalamnya. Dari dalam laci itu saya berharap menemukan buku-buku
pelajaran yang bisa dijadikan pedoman pelajaran. Nyatanya laci itu hanya
mempersembahkan kekecewaan karena yang bisa saya temukan hanya
sobekan-sobekan kertas berdebu dan sebuah buntalan kertas yang sudah tak
layak disebut buku.Tak ada halaman cover. Dipojok kanan bawah pada lembar pertamanya tertulis “Pendidikan Kesehatan dan Jasmani 5b”.
Saya lalu beralih pada lemari buku di pojok kanan kelas. Dahulu
warnanya pasti merah cerah. Namun sekarang warnanya berubah kusam seolah
menderita penyakit kulit. Seperti meja guru, lemari ini juga miring,
disandarkan pada dinding agar tak roboh. Salah satu kakinya sudah lapuk,
habis dimakan rayap lapar. Dinding belakangnya berlubang-lubang. Saya
tidak perlu membuka pintu lemarinya. Karena meskipun lemari ini
terkunci, saya tidak perlu repot-repot mencari kuncinya karena kaca yang
seharusnya melengkapi pintu lemari sudah tak ada lagi. Saya mengamati
rak-raknya. Rupanya lemari ini merupakan lemari serba guna. Di rak
paling bawah ada setengah lusin sapu lidi ditumpuk sembarangan bersama
kertas bekas dan benda-benda lain yang mungkin sengaja disembunyikan
para penghuni kelas. Di rak paling atas ada tumpukan gambar-gambar
pahlawan yang bingkainya sudah patah juga teks proklamasi yang kusut dan
sobek. Semuanya berbalut debu dan telur-telur rayap. Tersisa rak tengah
yang berisi beberapa buku.
“Ahh…akhirnya!” seru saya dalam hati
Debu tebal menutupi beberapa bagian buku bahkan ada pula buku yang
sisi-sisinya lenyap dimakan rayap. Saya mulai meneliti buku-buku itu
satu per satu, tentu saja lebih dulu membebaskan buku-buku itu dari debu
dan segerombolan rayap. Matematika, penjaskes, TIK dan sains. Sisanya
sulit diidentifikasi karena halaman covernya sudah tak ada.
Ya..setidaknya masih ada buku. Mata saya lalu ditarik turun pada tahun
penerbitannya. Dan ….. hallooooo kurikulum??? Buku-buku ini terbitan
jaman orde baru, beberapa di jaman reformasi, sisanya dipermulaan jaman
demokrasi. Saya berpaling menatap pada anak-anak yang sibuk menjipak
gambar peta, dalam hati saya bertanya-tanya, lalu dari mana guru-guru
mendapatkan bahan ajar untuk memuaskan dahaga ilmu anak-anak ini?
Bagaimana pula anak-anak ini bisa lolos UN yang setiap tahun selalu
melambungkan standar nilainya? Nantinya setelah beberapa bulan mengabdi
dan mengalami moment UN tersebut disini, barulah saya tahu ternyata UN
di daerah 3T bukan hanya untuk para murid melainkan juga bagi para guru.
Demi nama baik, kehormatan dan penghargaan semua pihak yang tercakup
dalam lingkungan pendidikan kabupaten pun segala cara dihalalkan.
Sepanjang hari saya merenungkan kejadian hari pertama mengajar di
sekolah 3T. Hal semacam ini sudah sering saya tonton di TV juga sering
dimuat dikoran tapi sensari rasanya sungguh berbeda saat daya mengalami
sendiri. Heran sekaligus kecewa saya rasakan. Bukan pada anak bermata
elang yang tak tahu letak pulau tempatnya berpijak tetapi pada kenyataan
pendidikan kita yang masih tidak mampu merangkul anak-anak diteras
negeri. Ini bukan saja masalah lulus UN yang toh hanya angka di atas
kertas tapi lebih dari itu, ini tentang kesangguptidakannya
mutiara-mutiara 3T ini untuk bersaing dengan mereka yang berenang diatas
kelengkapan fasilitas di arena globalisasi.
Kenyataan
yang saya hadapi dikelas hari ini menyentakkan saya dari kenyamanan
pendidikan kota yang seumur hidup saya kecap. Buku-buku lengkap tinggal
pilih. Jaringan internet untuk download kiri kanan pun tersedia. Disini,
buku pelajaran itu barang istimewa nan mahal. Jaringan internet? Oh
please don’t ask, signal pun tak ada. Saya seperti bangun dari tidur dan
mendapati jurang yang luar biasa jauh terbentang antara kota dan desa,
antara pusat dan perbatasan, antara saya dan mereka. Keterbatasan akan
sumber belajar menghalau mereka dari derasnya globalisasi. Sebagai guru
bahasa inggris, Saya selalu memberikan pemahaman pada murid-murid akan
pentingnya mengerti bahasa inggris, mengerti akan globalisasi dan
technologi dunia tapi apalah arti itu semua jika negaranya sendiri saja
mereka tak tahu.
“Ah ya, saya lupa, beginilah daerah
3T. Seperti kata ibu kepala sekolah; harap maklum” Memang benar inilah
tujuan mengapa saya dikirim kesini. Dengan maksud untuk menyetarakan
pendidikan, untuk menunjukan bahwa mereka pun anak kandung Ibu Pertiwi.
Tapi tetap saaja akal saya menuntut tersangka atas kekurangan yang
terjadi di sini.
Sudah jelas pemerintah terus
mengupayakan yang terbaik. Segala bentuk bantuan untuk perbaikan
fasilitas sekolah, kelengkapan media pembelajaran, dana BOS sampai
pengiriman guru-guru SM3T merupakan bukti nyata yang bisa dilihat. Namun
lagi-lagi itu semua belum cukup. Para guru di sekolah pun tak bisa
disalahkan. Tentu saja mereka punya cukup uang untuk sekedar membeli
buku pelajaran sebagai pedoman mengajar. Namun di seantero kabupaten ini
tidak terdapat satu pun toko yang memasang plang bertuliskan: Toko
Buku. Toko buku terdekat berada di Manado, ibu kota propinsi Sulawesi
Utara. Dan itu berarti more money and more energy karena untuk bisa
mencapainya, mereka harus rela terombang-ambing dilautan semalam suntuk.
Ini bukan juga salah kurikulum yang senantiasa berubah seperti musim
buah-buahan. Bentuk kurikulum itu pun abstrak hasil kreatifitas para
ahli. Apalagi para siswa. Yang mereka tahu hanyalah datang kesekolah dan
belajar. Belajar apapun tidak masalah asal keluar dari mulut
guru-gurunya. Lalu salah siapa peristiwa hari ini terjadi?
Diakhir pelajaran, anak bermata elang tadi menyempatkan dirinya
menunjukan hasil kerjanya kepada saya. Diatas bukunya tergambar peta
Indonesia sempuna lengkap dengan gambar bintang yang besar mengelilingi
kepulauan Talaud. Besar bintangnya hampir seluas pulau jawa. Tanda
bintang itu seolah-olah berarti: kami boleh kecil, terpinggirkan bahkan
hampir dicaplok Filipina, tapi lihat saja suatu hari nanti kami pun akan
berjaya sebagai generasi penerus NKRI.
Pekerjaanya saya balas dengan pujian dan senyuman sambil mengusap rambutnya.
“Bagus. Ngana ada bakat jadi pelukis”
Senyum
balasanya cerah sekali, seperti matahari dihari pertama saya tiba di
desa ini. Mata elangnya pancarkan sinar bening. Membalut setiap inci
tubuh saya dengan cahayanya. Jauh kedalam mata hitamnya, saya melihat
refleksi diri saya. Dan saya menemukan jawaban atas pertanyaan; siapakah
yang bertanggung jawab atas kekurangan diderah 3T ini. Saya. Anda juga.
Bahkan semua elemen bangsa ini tanpa terkecuali. Entah sebagai menteri
atau hanya penjual asongan diterminal.
Kita semua
adalah pihak-pihak yang bersalah jika kelak anak-anak ini tak mampu maju
ke lajur terdepan Negara ini karena kekurangan mereka sekarang. Maka
sejak hari pertama di sekolah 3T ini saya bertekad untuk berbagi ilmu
yang saya miliki. Setiap inci pengetahuan yang saya punya akan saya
pinjamkan pada mereka. Dengan imbalan suatu hari kelak mereka akan
mengembalikan pinjaman ilmu ini dengan karya dan kreatifitas dalam
membangun nusa dan bangsa.
Selalu ingatlah, berapa
banyak orang yang merumuskan atom yang mampu menghancurkan Nagasaki dan
Hirosima? Satu. Berapa banyak orang yang dibutuhkan untuk memulai
sorakan dan gelombang di tribun penonton saat pertandingan berlangsung?
Satu. Maka begitulah kita, jika setiap tahunnya diantara dua ratus juta
jiwa manusia Indonesia, bertambah 3000 orang yang tulus meminjamkan
ilmunya pada anak bangsa di pelosok maka bayangkanlah beberapa tahun
kedepan kita akan mampu mewujudkan cita-cita para pendiri negeri untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan keadilan social bagi
seluruh rakyat Indonesia. Maka kelak takan ada lagi jurang antara kita,
tak ada lagi sebutan terderpan, terluar, tertinggal karena kita berdiri
di garis yang sama. Maka kelak tak perlu ada lagi elegi penghuni teras
negeri.
Elegi Penghuni Teras Negeri
Riung, 18 oktober 2012
Selamat pagi pak menteri
Hari ini
Tak ada sepatu kupakai
Hanya ada sepasang tapak kaki
Hitam kasar penuh daki
Tak ada pula kain seragam serasi
Hanya kaus lusuh bergambar partai
Peninggalan emak pemilu juli
Jangan tanya tentang buku dilemari
Sedang selembarpun tak mampu kubeli
Jangan lihat wajahku hanya dari kulit ari
Aku pun mengerti arti “padamu negeri”
Tak ada peta di dinding kami
Tetapi Indonesia tetap ibu pertiwi sejati
Sejujurnya dari hati
Aku tak butuh sekolah tinggi
Cukuplah paham tentang cengkih dan padi
Toh, banyak sarjana mati berdiri
Karena tak kunjung dapat kursi
Banyak mimpi yang ingin kugapai
Tapi tak lebih dari hidup yang damai
Ada bara di setiap hari
Ada asa di lubuk hati
Butuh jiwa setangguh matahari
Untuk cita menjadi berarti
Selamat pagi pak menteri
Ini dari kami
Yang berdiri di teras negeri
*kuala: sungai
*enci: sapaan untuk guru perempuan yang belum menikah
*engku: sapaan untuk guru laki-laki yang belum menikah
*kalau airnya naik, kita harus turun disini dan berjalan kaki ke kampung
*oto: mobil
*enci pandai menggambar. Ini peta Indonesia kan enci? Kami tahu
*ini kampung kita. Tanah Talaud. Kita semua ada disini sekarang
*sekecil ini enci?
*sudah tidak cukup
Tidak ada komentar:
Posting Komentar